Ini pengalaman liburan yang sukses mengajarkan saya untuk bersabar dan akhirnya mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Tepatnya 3 September lalu, masa-masa liburan Lebaran, saya memutuskan untuk tidak pulang ke kampung, Denpasar-Bali, karena harus tugas keluar kota lalu melanjutkan liburan ke Lumajang (tepatnya ke desa Pronojiwo, Tempursari perbatasan antara Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang).
Kalau ke desa ini memang harus siap-siap bekerja keras, pertama tidak ada angkutan umum, jadi harus naik sepeda motor (berhubung mobil tidak punya), kedua hampir sepanjang perjalanan menemukan jalan berlubang. Sangat tidak menyenangkan, tapi Tuhan itu adil, pemandangan dan angin sejuk menemani siang itu, sehingga panas matahari nggak kerasa (tapi tetap bikin kulit kebakar).
Kalau ke desa ini memang harus siap-siap bekerja keras, pertama tidak ada angkutan umum, jadi harus naik sepeda motor (berhubung mobil tidak punya), kedua hampir sepanjang perjalanan menemukan jalan berlubang. Sangat tidak menyenangkan, tapi Tuhan itu adil, pemandangan dan angin sejuk menemani siang itu, sehingga panas matahari nggak kerasa (tapi tetap bikin kulit kebakar).
Tujuan ke desa ini memang ingin melihat salah satu pantai yang memang masih belum terkenal sama sekali, tapi kata teman pemandangannya eksotis. Nah ini dia awal mula pelajaran menguji kesabaran saya dimulai.
Setelah beristirahat semalam, berangkat sore jam 3 diperkirakan jaraknya sekitar 10 KM. Bayangan saya yah dekatlah, tidak sejauh perjalanan dari Surabaya menuju desa ini. Persiapan sudah ok, kamera ok, duit cukup, HP ok, semangat menggebu. Awal perjalanan bersama teman saya seperti biasa melewati perkampungan penduduk yang sangat sederhana, kebun salak, kopi, sawah dan pohon kelapa. Setelah 20 menit perjalanan jalan mulai berpasir hitam, perkiraan saya pantainya sudah dekat tapi taraaaaaa... saya bertemu hamparan padang pasir hitam plus batu-batu alam yang merupakan aliran lahar Gunung Semeru.
Bukan hanya itu saya juga melihat ada 3 aliran sungai (2 diantaranya cukup besar dan deras) yang harus dilalui. Waduhh.. karena sudah dua pertiga perjalanan akhirnya hamparan butiran hitam yang berasal dari dalam perut bumi itupun terpaksa dilalui. Bukan apa-apa, sepeda motor yang digunakan bukan jenis sepeda motor untuk motocross yang memang diperuntukkan di kondisi seperti ini, tapi saya mengendarai sepeda motor Yamaha Mio tipe Soul. Ampunn DJ...
Memang jalur jalan di padang pasir ini terlihat jelas, tapi tetap saja susah bagi saya untuk mengatasi perlawanan ban sepeda motor kepada pasir dan bebatuan. Separuh jalan bertemulah dengan aliran sungai pertama dengan jembatan bambu bergoyang untuk melaluinya. Ragu pastinya, tapi sebelum saya melaluinya, sudah ada sepeda motor lain yang mencoba. Akhirnya sukses juga... Belum sampai disana saja, setelah hamparan padang pasir, sudah menunggu jalur curam perbukitan dengan kondisi jalan yang tidak bagus sama sekali. Akhirnya setelah 30 menit bersabar, saya menemukan keindahan eksotis pantai Pasir Putih yang masih belum terjamah oleh pengelola pariwisata. Sebenarnya pasir pantai ini tidak sepenuhnya putih, mungkin karena pengaruh pasir dari lahar Gunung Semeru yang mengalir ke laut menyebabkan tercampur dengan pasir hitam. Yah tak apalah, intinya ini adalah hasil dari kesabaran melalui perjalanan ke pantai yang paling susah sepanjang hidup saya.
Air laut surut, sehingga karang-karang yang tadinya tertutup air laut menjadi menampakkan diri. Namun ombak laut selatan masih terlalu sadis untuk dipakai berenang. Niat berenang diurungkan, hanya foto dan menikmati sedikit sunset yang terhalang pohon di bagian barat pantai.
Puas menikmati pantai, gelap mulai datang, sebaiknya segera pulang. Jalan tanpa penerangan, sepinya kendaraan menjadikan alasan untuk tidak menunda pulang. Apalagi jalur untuk pulang harus melalui jalur yang sama saat berangkat. Hhwwuuuwwwaaaaa... Helikopter please...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar