Dari beberapa literatur yang saya baca, bahwa tradisi megibung adalah tradisi yang berasal dari Pulau Bali, tepatnya Karangasem. Apa itu megibung? Kenapa tradisi itu kini juga ada di komunitas masyarakat Hindu yang bermukim di Kota Mataram, Lombok?. Sebenarnya di abad ke 16, Kerajaan Karangasem berhasil menaklukan Kerajaan Selaparang, yang saat itu berkuasa di Lombok. Dari sinilah masyarakat Lombok, terutama di pesisir barat, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Bali, khususnya Karangasem. Maka, salah satu tradisi megibung juga dikenal oleh masyarakat Hindu di Lombok, yang dilaksanakan pada saat pelaksanaan upacara adat dan keagamaan.
Pada tanggal 6 April 2012 lalu yang bertepatan dengan Purnama Kadasa (penanggalan Hindu Bali), adalah piodalan salah satu pura di Kota Mataram, yiatu Pura Maksan, Pajang, Mataram. Sesuai tradisi, sebelum pelaksanaan upacara bersama, dilaksanakan terlebih dahulu megibung yang hanya diikuti oleh kaum pria di lingkungan itu. Megibung itu sendiri merupakan salah satu proses atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk duduk bersama saling berbagi satu sama lain, terutama dalam hal makanan. Namun berbeda dengan tradisi megibung di daerah lain, di lingkungan ini hanya boleh diikuti oleh kaum pria.
Sebelum megibung dilaksanakan mulai dari menyiapkan bahan makanan, mengolah makanan hingga menghidangkan dilakukan juga secara bersama-sama oleh kaum pria juga. Sementara untuk perempuan menyiapkan beragam sesajen dan akan menyantap hidangan setelah acara megibung selesai dilaksanakan.
Bahan utama dari makanan yang disajikan di tradisi megibung ini adalah daging babi yang dibuat berbagai macam olahan mulai dari lawar, sate, babi panggang, babi santan dll. Bahan lainnya antara lain berbagai macam sayuran seperti daun belimbing muda, kacang panjang, kecipir, tauge, kacang merah, kacang kedelai, dll yang disajikan dengan bumbu khas Lombok yang pedas. Tidak lupa juga disediakan minuman khas Lombok berwarna merah muda, beraroma wangi namun beralkohol yaitu tuak, yang diambil dari sari buah enau. Seluruh hidangan ini disajikan dengan nasi dalam porsi yang sangat banyak didalam sebuah nampan.
Nah, inilah saatnya megibung dimulai. Nampan yang sudah berisi nasi putih dan berbagai macam olahan makanan yang telah dibuat, diputari duduk melingkar oleh sekitar 5-7 orang. Ada sekitar 10-12 nampan yang disediakan saat acara tersebut. Seluruhnya dipimpin oleh tetua adat setempat, jadi setiap orang tidak diperkenankan untuk memulai bahkan berdiri selesai makan. Seluruh prosesi acara harus menunggu aba-aba dari tetua adat. Sekitar pukul 12 siang, acara dimulai dan seluruh peserta terlihat sangat menikmati hidangan. Sambil berseda gurau, berbincang dan kesan kekeluargaan sangat tercipta diacara tersebut. Inilah tradisi kekeluargaan dari sebuah lingkungan kecil masyarakat di Indonesia.
Sebenarnya makna dari kegiatan ini adalah bahwa walaupun minoritas, dengan kebersamaan dan kekerabatan yang sangat erat, akan menciptakan lingkungan yang sangat solid dan tetap menghormati masyarakat sekitarnya. Dari kegiatan seperti inilah, menjadi wujud konsep Hindu "Tat Twam Asi" yang artinya "Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku", maksudnya bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita, demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku.
-pancasuwandika-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar