Keringat
saya jatuh di aspal bandara, karena siang itu sepertinya ada dua matahari
diatas kepala. Masuk ke ruang pengambilan bagasi yang ber-AC, tapi masih belum
bisa mendinginkan, ditambah beban 1 tas koper besar dan tas punggung yang minta
ampun beratnya. Namun tak satupun kereta troli harapan untuk menolong saya yang
terlihat. Petugas porter yang jumlahnya puluhan sudah membajak semua troli
sebagai alat pencari uang mereka. Saya masih harus menunggu 2 tas koper
tambahan lagi di antrian bagasi dengan satu jalur lurus travelator barang dengan ujung
yang tidak jelas. Semua penumpang berebut mengambil barang dan membuang begitu
saja barang yang bukan milik mereka. Kaget dan heran, 2 koper saya sudah berada
dekat pintu keluar di ruang kedatangan. Yup, saya akhirnya tiba dengan sambutan yang mengharukan di salah satu kota dengan bandara
internasional di Indonesia yang untungnya kini sudah tidak digunakan lagi,
Bandara Polonia, Medan.
Ikon Kota Medan, Istana Maimun
24
Maret 2013, ini adalah kali pertama saya pergi ke Medan, sekaligus akan menjadi
tempat tinggal saya, entah untuk berapa lama, karena tuntutan pekerjaan.
Pertengahan Maret 2013, saya menerima map batik, map yang bikin setiap pegawai di perusahaan tempat saya bekerja jadi was-was, karena berisi jawaban kemana kaki akan berpijak selanjutnya alias
m-u-t-a-s-i. Sebuah tantangan baru saya terima untuk bekerja di kota, bahkan pulau
yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Saya katakan tantangan, karena
hidup memang harus keluar dari area kenyamanan untuk dapat melihat makna dan
artinya (baca : terpaksa).
Setelah
saya menemukan kereta troli idaman untuk membawa 3 koper ukuran super besar,
berjalan kearah meja persis dibawah papan bertuliskan taksi. Saya langsung
menyebutkan salah satu nama hotel untuk tempat saya menginap di malam pertama
saya di Medan. Setelah mengeluarkan uang lima puluh lima ribu perak, saya
langsung masuk ke mobil sedan warna merah kecoklatan (gara-gara warnanya sudah
pudar), pintu yang susah dibuka dan AC yang hanya mengeluarkan angin. Logat
khas pak supir yang bertanya mau kemana, sudah bisa ditebak dia penduduk asli
Medan, yah kalaupun salah setidaknya dari Sumatera Utara.
Kondisi
badan saya benar-benar baru terasa lumayan nyaman saat berada di kamar hotel
dengan jendela kamar persis berhadapan dengan tembok bangunan lain. Rencana
hanya semalam saya menginap di hotel ini, selanjutnya saya langsung tinggal di
kost bekas rekan kerja yang saya gantikan. Sebelumnya tidak ada persiapan untuk
mencari tempat tinggal di Medan. Alhasil penawaran rekan saya untuk menempati
bekas kamar kostnya langsung saya iyakan. Diantar sama teman yang telah kenal
sebelumnya di Surabaya dan kini kembali sekantor di Medan, saya keliling ke
beberapa mall dan melihat kost yang akhirnya betah saya tempati hingga sekarang.
Persis
setahun sudah saya lalui untuk tinggal di Medan. Beradaptasi dengan suasana,
lingkungan dan budaya yang baru. Melihat, mendengar dan merasakan hiruk pikuk
Medan yang unik dan dinamis, hingga mencicipi kuliner yang terkenal lezat. Tapi
tetap terkadang sebagai pendatang, tidak semua yang nikmat di negeri orang,
dapat sepenuhnya kita nikmati. Itulah pengalaman yang tidak semua orang bisa
rasakan, untuk selanjutnya dibuatkan kedalam salah satu kisah hidup.
Terus
jika saya ditanya, apa yang bisa buat kamu betah tinggal di Medan? Ada lima hal
yaitu masih ada bandara dengan penerbangan langsung ke Jakarta dan Surabaya
(agar mempermudah saya untuk pulang kampung ke Bali, walaupun harus transit),
ada Pura Hindu untuk tempat saya bisa beribadah dan berkumpul dengan sesama
pemeluk Agama Hindu (khususnya Hindu Bali), lalu mall yang cukup lengkap dengan
brand yang tak kalah terkenal dengan kota besar lainnya di Indonesia, makanan
yang lezat terutama BPK alias Babi Panggang Karo, dan terakhir mudah dan murah
untuk keluar negeri, karena banyak promo tiket pesawat murah dari Medan ke
beberapa kota di Malaysia, Singapura, Thailand dan Negara Asia Tenggara
lainnya. Memang jika dibandingkan tiket pesawat Medan ke Palembang, masih lebih
murah tiket pesawat Medan ke Kualalumpur atau Penang.
Suara
klakson hampir tiap detik tanpa henti seperti alunan musik, akan menjadi
sarapan pagi dan snack di sore hari saat pulang kerja di jalanan Kota Medan.
Warna warni angkutan kota tumpah berserakan tanpa menghiraukan marga jalan
untuk menurunkan penumpang. Ditambah lagi becak motor alias bentor (entah
kenapa ada huruf ‘n’ diantara kata itu, seharusnya kalau disingkat jadi betor)
dengan suara knalpot mirip seperti suara panci jatuh, yang parkir sesuka hati
bahkan melawan arus jalan dengan tujuan agar lebih cepat sampai. Tidak ada lampu warna merah di setiap lampu
lalu lintas persimpangan jalan, yang ada lampu warna merah muda. Kalau lampu
merah nyala dan bisa dilalui, sambil lihat kanan dan kiri (bahkan ada yang
tidak sama sekali), sudah seperti lampu hijau nyala terus. Jangan harap nyaman jika sedang jalan kaki di
Medan. Bukan masalah kriminal, tapi pedestrian dengan lebar rata-rata 2 meter
akan jadi tempat parkir, berjualan, bahkan jadi lokasi konstruksi papan
reklame. Hiasan papan-papan besar berukuran mulai dari 1x2 meter hingga 10x20
meter menawarkan berbagai barang dan jasa, ditambah kabel listrik terjuntai
jadi pemandangan ibukota Sumatera Utara.
Senyum bahagia naik bentor keliling Medan
Kata
banyak orang, Medan adalah surganya kuliner. Memang banyak makanan lezat, mulai
dari bika ambon, bolu meranti, pancake durian, nasi gurih hingga lemang. Tapi
yang menjadi ciri khas masakan di Medan yang gurih dan pedas adalah selalu menggunakan
3 hal yaitu cabe dengan bijinya, minyak kelapa dan santan. Perpaduan masakan
Batak, Melayu, Jawa, China dan India sangat terasa, karena kelima etnis dan
suku itulah yang banyak mendiami Medan.
Rumah Tjong A Fie
Apapun
itu Kota Medan dengan Istana Maimun, Masjid Raya Al Mashun, Rumah Tjong A Fie
dan banyak bangunan lama lainnya dengan perpaduan arsitektur Eropa, China dan
Melayu, lalu dengan penduduknya yang spontan, berani, dan dinamis,
menjadikannya kota ketiga terbesar di Indonesia yang kini sudah setahun saya
tinggali dan memberikan kisah cerita tersendiri bagi saya.
Ada beberapa pengalaman unik yang saya alami selama di Medan.
1. Saat
menumpang taksi di Medan adalah saat yang paling banyak saya mendapatkan
pengalaman unik. Mulai dari supir taksi yang marah saat saya minta kaca pintu
mobil ditutup, karena si supir lebih suka kaca dibuka, sampai supir yang
sepanjang perjalanan memutar lagu Christine Panjaitan sambil bernyanyi dengan
suara yang lantang tanpa minta ijin.
2. Saat
pulang dari kantor, kebetulan saya satu lift dengan salah satu rekan kerja.
Saya pun tanya, “pulang naik apa Kak?”. Dijawabnya “saya naik kereta”. Saya
sedikit heran dan kembali tanya, “naik kereta? rumahnya jauh ya kak? Jalan kaki ke
stasiun?” (terbayang saya seperti Jakarta ke Bogor yang naik kereta api). Rekan
saya pun tertawa, karena kereta yang dimaksud olehnya bukan kereta api
melainkan sepeda motor. Jadi orang Medan menyebut sepeda motor dengan kereta.
3. Jangan kaget kalau di Medan, penjual lebih galak
dibandingkan pembeli, padahal seharusnya pembeli itu adalah raja. Saya dengan
beberapa rekan kerja, makan siang di salah satu rumah makan dengan menu andalan
nasi pecal (sebutan di Medan bukan pecel, padahal keduanya sama). Setelah
pesanan diantar dan saya minta tambahan kerupuk, tapi malah penjual balik
menegur saya “sudahlah makan dulu itu kerupuk yang ada, banyak kali pesanan
yang lain!”. Sayapun urungkan niat untuk minta tambahan kerupuk.
...dan Medan, saya sudah setahun tinggal dan menikmati hari-hari untuk mendapatkan cerita-cerita baru darimu untuk akhirnya dibawa dan dibagi ke kampung halaman saya...
-panca suwandika-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar